By Dzulkifli Abdulrazak*
Akhirnya “lockdown” itu di sini. Kata yang amat baru bagi kebanyakan orang. Tidak ada yang betur-betul tahu apa arti “lockdown” yang sebenarnya.
Kata “ lockup” lebih dikenal orang. Akhir-akhir ini, kata tersebut sering muncul di baju-baju oranye atau ungu yang dipakai oleh orang yang terlibat dalam kasus criminal, termasuk kasus korupsi ( di Malaysia). Tetapi, bagaimana dengan “lockdown”? Rupanya, ada beragam tipe “lockdown”.
Hingga saat ini, kata tersebut dimaknai sebagai “membatasi daerah tertentu”, dimanapun daerah itu berada. Sebuah tindakan pencegahan sebagai tanggapan pada ancaman langsung maupun tidak langsung di lingkungan masyarakat. Maka jika suatu kota di “lockdown” orang-orang yang berada di kota tersebut tidak diperbolehkan untuk keluar. Wuhan, pusat coronavirus, adalah salah satu contoh klasik. Segala sesuatu diberhentikan. Sekarang, nampaknya ada makna yang lebih sederhana : tinggal di rumah #dirumahaja.
Mengutip Perdana Mentri Malaysia dalam pidatonya “duduk di rumah”. Terdengar mudah dilakukan, tetapi ternyata tidak, karena kita sangat aktif dan bergerak lebih dari yang kita sadari. Inilah yang sulit dipahami, bukan hanya di Malaysia tetapi juga di seluruh dunia.
Sejauh ini, kita sering kali diingatkan untuk terbiasa dengan perubahan yang cepat, karena waktu adalah uang. Melakukan sesuatu dengan lambat berarti kehilangan uang, maka dari itu tidak disukai. Jadi kita terdorong untuk melakukan segala sesuatu dengan cepat, nyaris seperti mesin, untuk mendapatkan uang! Tiba-tiba, kita diminta untuk menginjak rem kuat-kuat, berhenti. Stay put. Duduk diam-diam. Dirumah aja. Uang sudah tidak penting lagi. Bertahan hidup lebih diperlukan. Menghindar, bersembunyi dan tidak melakukan apapun. Itulah “lockdown”.
Perubahan besar ini, membuat orang-orang harus membiasakan diri. Dan hal ini menjadi lebih berat karena masa nya yang lumayan lama. Karena kita akan menjadi cepat bosan dari biasanya atau merasakan “ ketidakmenentuan” kemana semua ini mengarah. Hal ini dapat menggoncang emosi dan membuat setres.
Kita mencoba untuk “kabur” tetapi sebaliknya jiwa kita terkurung! Hal ini terus berlanjut, penyebaran wabah covid-19 membuat emosi kian tak menentu setiap harinya. Tidak seperti penyebaran virus lain, gejala-gejalanya tidak mudah dideteksi-tidak mudah dibasmi. Pengaruhnya pun akan semakin buruk apabila tempat yang disebut “rumah” tidak lagi sesuai dengan “lockdown” dalam masa tertentu. Hal tersebut bisa menjadi bom waktu.
Rasa bosan dan ketidakstabilan emosi dapat mengarah pada perilaku yang tidak benar yang mana bisa berbahaya bahkan dapat menjadi ancaman hidup. Dalam beberapa kasus, hal tersebut bisa berupa penyerangan atau upaya bunuh diri yang memang angka kenaikannya pun sudah tinggi ketika dalam situasi “normal”. Pandangan human-centric ini bagaimanapun tidak cukup ditekankan, terutama dalam konteks kesehatan mental yang melibatkan siswa dan anak muda. Inilah permasalahannya.
Hal ini menjadi lebih mengkhawatirkan ketika dikaitkan dengan pengaturan pendidikan -sekolah dan universitas – secara umum. Data terbaru menyatakan bahwa yang disebut “Pendidikan” itu tidak lagi memadai dalam mempersiapkan para peserta didik untuk mengatasi tantangan hidup di masa depan. Tetapi lebih kepada mempersiapkan bagaimana mencari penghidupan bukan bagaimana caranya hidup yang menjadi tujuan utama Pendidikan.
Tujuan yang “baru” diarahkan untuk penghasilan dan pemakaian yang dipenuhi oleh keserakahan dan kepuasan yang instan berdasarkan keinginan materi bukan karena kebutuhan. Tujuan hidup yang dibingkai dengan cara ini jauh dari apa yang seharusnya diberikan oleh Pendidikan. Hal itu telah menyimpang jauh dari kebijaksanaan dalam “Falsafah Pendidikan Kebangksaan” (Malaysia) yaitu tentang memelihara keseimbangan dan keharmonisan manusia dan bukan “modal insan”. Sebaliknya, “insan seimbang” dengan mekanisme penanggulangan humanistik yang utuh.
Inilah sebenarnya awal dari penguncian mental yang terwujud oleh “lockdown”. Kontras dengan Italia yang mengalami kasus yang lebih parah, kita diperlihatkan bagaimana mereka menghadapi situasi yang mengerikan.
Pikiran kreatif mereka tidak “dihancurkan” oleh Covid-19 dalam perjuangan untuk tetap hidup meski lockdown dan dalam penyebaran militer seperti yang kita lakukan. Mental mereka lebih disiplin, lebih sehat, lebih kuat dan itu lebih diperhitungkan ketika kita melawan musuh yang tak terlihat, melampaui hal-hal yang dilakukan secara fisik.
Mereka menciptakan window tennis. Mereka bertepuk tangan dengan serentak dari apartemen masing-masing untuk menunjukan apresiasi kepada para korban sebagai pahlawan tak dikenal setiap harinya, perayaan ulang tahun dirayakan di balkon masing-masing, begitu pula dengan pernikahan, dengan musik yang dimainkan oleh masyarakat dengan sukarela. Dengan kata lain, hidup tetap berlanjut meski dalam kondisi yang buruk.
Tetapi, itu pun tidak cukup jika pikiran kita tetap terkurung. Inilah yang harus kita pahami untuk bergerak maju mengklaim kemanusiaan kita sebelum corona virus yang mendapatkannya. Pertama-tama, bebaskan pikiranmu! Jadilah orang yang sehat mental, tidak seperti tangan(yang harus sering-sering dicuci), jangan sampai otakmu tercuci! Diterjemahkan oleh Zaakyah.
* Penulis adalah kolumnis NST lebih dari 20 tahun, Rektor International Islamic University Malaysia.